Derai Hujan dan Setelahnya

Klik.

  Athena menutup gembok gerbang garasi lalu berbalik, sekilas menatap remang sekitar lalu kambali menuntut sepedanya ke sisi dinding. Kakinya tetap melangkah setelah sepedanya terparkir, ia menghampiri tangga tapi sebelum langkahnya membawa diri itu menginjak kayu anak tangga, seseorang memanggilnya pelan.

   "Athena, kamu sudah pulang?" Seorang wanita paruh baya dengan kemeja juga rok selutut yang masih melekat disana menandakan bahwa ia juga baru sampai rumah setelah lelahnya pekerjaan menghujani.


Athena tersenyum, "Udah ma, Athena juga sudah makan tadi sama Reva dan Bella."


"Kalau gitu mama juga ke kamar dulu ya. Papa juga masih dinas di Bangkok," 


"Oh, iya, yaudah Athena naik ya," ia kemudian menaiki anak tangga setelah anggukan Mama berhenti.


Sampai di kamarnya, anak berusia empat belas tahun itu langsung berganti baju mengingat latihan tari modernnya menguras banyak tenaga ia jadi ingin segera melepas lelah, membiarkan mereka menguap ke langit-langit kamar. Baru saja ia hendak membuka sepatu, suara jatuhnya berjuta rintik air di luar mengambil semua perhatian Athena, tanpa diperintah dua kali ia menyibak gorden, memperlihatkan kaca besar yang mengisi dinding dari sudut ke sudut.


Tatapannya tidak menerawang, namun tiap kali hujan datang, yang kelam itu kembali hadir, menyapanya riang.


Athena mematikan keran setelah tumpukan piring kotor itu tersusun rapih dan bersih di rak besi penuh karat. Kemudian ia mengambil satu bohlam lampu dari laci, melangkah ke ruang tengah. Cukup berjinjit sedikit baginya untuk memutar bohlam yang lama lalu menggantinya dengan yang baru. Kemudian ia mengatur napas agar ritme nya kembali normal, lelah akan semua pekerjaan rumah hari ini.


DUG DUG


Ia sontak menengok ke kiri menatap triplek tajam saat beberapa anak kecil memukulnya kurang kerjaan, atau mungkin adiknya. Mengingat anak lelaki berusia sebelas tahun itu belum kembali sejak siang, Athena segera keluar rumah dan mulai mencari adiknya setelah pintu kayu yang telah usang tertutup. Perempuan itu kemudian berjalan melewati rumah-rumah berdinding triplek di bantaran kali lainnya setelah melihat di sekeliling rumah, adiknya itu tidak ada. Sampai di sebuah pohon besar, ia melihat beberapa anak masih bermain di sana. "Maaf, Ares ada?"

"Ares udah pulang tuh kak, dari tadi udah enggak ikut main," jelas salah satunya cukup memberi informasi bagi Athena.


Ia hendak mencari lagi namun gelap di atas sudah menenggelamkan mentari walaupun tersisa sebagian di Barat, seruan panggilan beribadah pun mulai menyahuti langit jingga keunguan. Athena rasa, Ares pergi menemui ibunya di pasar yang sedang menjaga kios, jadi ia kembali ke rumah.


Namun saat mencapai teras, pintu depan terbuka lebar. Sebelum Athena kalang kabut mencari sesuatu yang mungkin hilang, suara tegas ibunya datang dari ruang tengah.


"Athena! Kamu bisa-bisanya ninggalin rumah tanpa ada yang jaga begini! Kalau ada apa-apa gimana? Apa yang kita punya sekarang cuma ini!"


"Tadi Athena cari Ares, Bunda, tapi dia enggak ada."


"Sebentar lagi mungkin dia pulang," 


"Tapi Bunda--"


"Ares kemana lagi emang? Main kan pastinya, Ares ke pasar? Enggak mungkin. Selama ini kalian cuma ngeluh aja terus. Enggak bantu Bunda. Enggak ngertiin Bunda."


"Thena paham Bunda, udah magrib, Athena gak mau ribut lagi sama Bunda."


"Bunda juga paham nak, kamu gak mau kan kayak gini, maunya kayak dulu lagi. Tapi Bunda mohon dong, bantu Bunda sedikit aja."


"Athena bantu pekerjaan Bunda! Itu pun kalau Bunda menghargai apersiasi Thena terhadap keadaan sekarang. Itu pun kalau Bunda sadar, Athena masih ada. Athena mau sekolah! Sekolah kayak Ares, Athena mau ketemu lagi sama temen-temen Thena yang dulu. Athena mau Bunda ada pas kita makan malem. Athena mau Bunda anggap Thena ada seperti Bunda menatap Ares sebagai anak Bunda."


Satu detik setelahnya satu tamparan keras mendarat di pipi kanannya. Dada Athena bergemuruh menahan amarah juga isak tangis yang benar-benar hendak membeludak.


Athena paham keadaan sekarang seharusnya bisa ia lebih mengerti, menurut dengan perintah Bunda, menjaga Ares. Namun setiap kali Bunda mengeluarkan keluh kesahnya, kesedihan yang selama ini Athena simpan sendiri, justru terpelatuk. Dan semua terkuak sekarang, saat putus asa gadis itu sampai pada puncaknya.


Satu tetes air mata jatuh di pipi Athena saat ia sadar kalau tamparan itu benar-benar pantas untuk membayar kata-kata kasar yang telah menyakiti hati ibunya.


Ruangan lenggang menyisakan suara kipas yang hendak rusak namun masih dipaksakan menyala. Hingga seseorang berdiri di bingkai pintu depan berteriak nama adiknya, "Ares! Ares!"

Secepat itu pedih yang tadi mendekap keduanya terlerai, berganti menjadi panik. Athena keluar rumah dengan perasaan takut, sedih, panik, saat melihat adiknya sudah tergeletak disana tanpa ada hembusan napas dengan udara yang normal. Masih dengan perasaan yang sama saat ia membantu mencari angkutan umum, saat sepanjang lorong rumah sakit terlihat lebih menyeramkan, saat ia menaruh mukena lalu melangkah keluar dari musolla.


Kini Athena berdiri di depan kaca menatap Ares dengan masker oksigen di wajah dan infus di punggung tangan, menatap ibunya memandangi adiknya berurai air mata. Namun satu hal yang masih sulit ia pungkiri, Bunda memang sayang Ares lebih. Anak lelaki itu punya penyakit asma kronis yang bisa kambuh kapan saja terutama dimana ada pemicu. Dan semua peralatan, bahkan ruangan VIP itu adalah hasil administrasi antara rumah sakit dengan seorang perokok kaya raya yang bertanggung jawab.

Athena menatap sekitar, lorong itu tadinya penuh tetangga yang ikut membantu.


Athena termenung sebentar hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Bunda sebenarnya menatap kepergian itu dari jendela, yang seharusnya Athena tahu dari awal agar ia berhenti menciptakan langkah.


Rupanya di luar hujan. Namun Athena tetap melangkah demi menemukan waktu sendiri untuk berpikir. Ia kemudian berhenti di trotoar sepi, masih dengan perasaan yang sama. Mendongkak menatap langit gelap berharap Ayah melihat anak gadisnya kini sedang menangis. Entah untuk apa, Ares yang terbaring, rasa iri yang menjalar, kepergian Ayah, kehidupan yang sempurna lalu jungkir balik semester lalu, rasa bersalahnya pada Bunda, usahanya yang gagal untuk melihat celah kepedulian Bunda, atau rasa membodohi diri yang seharusnya tidak begini sekarang.

Hingga tepukan di bahu kirinya berhasil membuat Athena berhenti terisak lalu berbalik, "Bunda?"


"Thena, kita makan malem dulu yuk."


"Bunda, Thena mohon, Bunda pulang dulu sekarang. Makan malem duluan. Athena butuh waktu sendiri Bun, buat cari cara biar Athena bisa minta maaf sama Bunda," suara itu bergetar seiiring ketidakpercayaannya pada kepedulian Bunda sekarang. Berharap waktu yang Bunda berikan dapat menyadarkannya, setidaknya sesaat.


Detik berikutnya Athena berlari kencang menyebrangi aspal pergi meninggalkan ibunya di belakang.


I'd never leave you behind.


Tepat ketika satu kalimat Ares yang biasa ia ucap dulu, saat mereka berdua jalan-jalan ke taman melewati benaknya, satu jeritan kata terakhir berhasil memekakan telinga, menghantam dada, menyumbat pikiran, bahkan mengembalikan jiwa yang pergi dari anak itu, "Athena!"

Gadis itu berbalik, menatap ibunya jatuh tergeletak tertabrak mobil kencang. Seketika bibirnya terbuka, lalu menghirup oksigen lebih banyak kemudian ia jatuh terduduk. Terlalu kaku untuk bergerak menghampiri seperti yang di lakukan orang-orang sekitar. Di malam penuh titik hujan itu, masih dengan perasaan yang sama, hingga akhirnya ia tahu bahwa keduanya telah pergi, di hari yang sama.

Athena masih berdiri di depan jendela, menatap hujan. Masih dalam posisi yang tadi namun tatapannya berbeda. Kini menerawang.


Kemudian hujan reda, kisah itu padam.


Athena menghela napas panjang dengan mata terpejam lalu kembali membuka sepatunya, berganti baju, kemudian tidur.


Keesokannya, dengan hari yang baru. Ia berniat mengunjungi panti asuhan yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan hingga kedua orang tua yang berharap memiliki gadis menjemputnya. Kini semua kembali, rumah yang megah, pakaian yang layak, makanan yang sehat, teman yang menyemangati, dan orang tua yang peduli. Seharusnya ia bisa bersyukur pada Tuhan sejak dulu.


Athena melangkah masuk ke kelas menemui teman-temannya, mencoba menutup yang kelam itu lalu fokus belajar untuk masa depannya. Namun tiba-tiba gerimis datang. Athena masih tersenyum mendengar lelucon temannya, namun tiap kali hujan datang, yang kelam itu kembali hadir, menyapanya riang.

--fin.[]

Comments

Popular Posts