Haru Biru Terakhir


====

Nico's point of view.

"Maaf," ujarku setengah hati, tanpa takut menarik kembali tanganku lalu bangkit ingin cepat-cepat keluar dari ruang pengap penuh sofa juga piala.

"Nicholas!" Teriak Ms. Tonya lagi untuk kesekian kali, "Jangan pergi seolah saya tidak di sini, kamu dididik berdasarkan adab yang baik! Bukan dengan sopan santun yang pudar!"
Langkahku berhenti lalu diam tanpa berbalik, "Ya sudah, kamu keluar, besok kembali ke sini untuk menerima hukuman," Kalimat terakhirnya sekan mengerti maka aku berhasil pergi tanpa basa-basi lagi, meninggalkan Ms. Tonya dan Gavin yang masih berkutat dengan segala luka lebam di wajah.
.
Beberapa jam lalu, sebenarnya tersisa dua menit lagi bagiku untuk memasuki kelas namun karena beberapa barang jatuh dari lokerku maka sempat aku menunduk lalu tanpa sengaja mengambil foto yang pasti bukan salah satu barangku, di kolong loker sempit. Foto kakakku. Ia mendekap dalam rumah sakit dengan segala obat disisinya yang beritanya tersebar oleh Gavin dulu, namun selama hanya itu yang terjadi aku tidak peduli juga.

Aku membalik foto itu melihat tulisan mematikan bahkan dapat menekan pelatuk yang semu tanpa tahu aku tersulut dalam satu kali ledakan tepat sasaran.

"Eh, Nic, itu punya gue siniin."

Aku berbalik tanpa habis pikir mengenai gunanya mencemoh orang-orang yang tidak pernah pantas untuk direndahkan, lalu memberinya tonjokan sekencang angin lalu, siapa pula yang mengira kekuatan anak kelas lima dapat menumbangkan lawan dalam sekali.

Gavin tersungkur lalu menarik aku yang berdiri tanpa pertahanan, sesaat kacaunya pergulatan asal-asalan itu mengambil perhatian dari segala sisi. Kali itu aku meronta tak karuan, menjadi pusat antara hingat bingar ketika yang lainnya mencoba melerai, sementara yang tersisa dalam benakku hanya bagaimana cara untuk terus berbalik, menyamabanyakkan pukulannya sebagai pembalasan untuk merendahkannya. Walau aku sempat tersadar ada juga kesalahan yang kuperbuat, sekilas kalimat melewati benakku tak pernah kusangkal lagi.

Gavin memang sejatinya bukan teman.

Dalam perjalanan pulang kini aku pun masih mengingat bulan-bulan lalu, dalam hari saat umurku genap sebelas tahun yang seketika berubah mengacau dengan lengkingan kakakku, Nora sembari memegangi kepalanya berteriak sakit tanpa ampun. Sebelum-sebelumnya ia sering mengeluh sakit kepala lalu mengubur lagi ke dalam, tertutup senyum manisnya. Satu hari setelahnya aku paham, kekacauan-kekacauan yang datang kemudiannya tidak lagi dapat mengejutkan, aku bahkan terbiasa.

"Udah makan belum, Nic?" Tanya Papa masih fokus mengemudi.
"Udah. Papa langsung ke kantor lagi, habis ini?" Anggukan pelan Papa menyahuti sempat membuat tanganku berhenti memainkan bola futsal di pangkuan, "Itu bolanya udah dibalikin?"
"Iya pah, soalnya ada kasus baru lagi."
"Berantem lagi? Menang gak?"
"Papa!" Dia terkekeh, "Masalahnya dia temen aku, si Gavin loh."
"Yang pernah ngatain kakak?"
"Kali ini lebih."
"Selama kamu ada di sisi yang benar, Papa enggak marah, Nic," lalu mobil berhenti tepat di depan lobi utama rumah sakit. Aku turun dari sana langsung melangkah menuju kamar kak Nora setelah Papa pamit dan berucap hati-hati ya, jagoan Papa gak boleh kesandung!
.
"Assalamualaikum!" Salamku seperti siang-siang biasanya begitu memasuki ruang kamar lalu terjawab dengan suara lemah kakak, "Mama mana, kak?"
.
"Di kamar mandi, tadi," kak Nora menjalankan kursi rodanya dengan remote control pada sisi kanan tangannya menghampiri aku yang sedang melepas sepatu lalu tersenyum sumigrah, "Ayok! Latihan ngelukis lagiii!"
.
Sempat terbesit kata lelah, namun aku ingat tekadku dari awal mewujudkan mimpi kakakku yang terhenti, memenangkan lomba melukisnya. Maka setelah aku mendaftar lomba di sekolahku beberapa minggu lalu, kemudian memberi tahunya seolah aku sangat ingin mendapat juara, aku selalu merasa semangatnya kembali.
.
"Eh, Nico sudah sampai, Sholat dulu sana," aku menyalimi tangan mama lalu menurut mengambil air wudhu, tapi aku sempat bercerita sebentar, "Bolanya balik lagi donggg," ia tersenyum. "Kok? Memang berapa lama harusnya?"
.
"Seminggu, tapi dipercepat, Nico dapet masalah baru soalnya," Mama tidak menggubris lagi lalu berkutat menghadap lemari, menceletuk beberapa menit setelahnya, "Kamu sekolah yang bener-bener aja loh Nic, jangan macem-macem. Oh iya, Mama pergi sebentar loh ya, kalian hati-hati berdua doang di sini."
.
Bibirku terkatup. Selain kekacauan itu, cerita hari-hariku juga lebih sedikit untuk dibicarakan. Selalu berhenti di point utama, tanpa pernah lagi aku menjelaskan amarahku atau alasan seperti mengenai pergulatan dengan Gavin tadi. Entah hanya perasaanku atau memang nyata begitu, semenjak hari itu juga mereka berhenti menatapku sebagai anak bungsunya. Aku akhirnya meluruskan sajadah lalu fokus beribadah.
.
Setelah itu kembali duduk depan kanvas, mendengar aba-aba juga peringatan kesalahan tentang kombinasi warna atau sebagainya, "Itu tabrak aja udah. Kalo mau warna kuning aja Nic, nah trus ininya garisin dulu, harusnya tadi di awal pake pensil, yaudah gapapa, lanjutin bos!"
.
Sebelum aku belajar melukis dengannya, aku tidak pernah tahu bakat itu lebih lekat dari yang aku kira. Dulu tidak lebih dari tiga detik aku menatap hasil akhir lukisannya, kini aku paham bahwa tiap-tiap coretannya itu selalu punya makna tersendiri, emosinya yang tercurahkan, yang tidak semua orang dapat memahami dari segala sisi.
.
"Masalah apaan lagi, Nic?" Tanyanya tiba-tiba cukup untuk menurunkan tanganku dari kanvas, kami memang terkadang saling bercerita, "Enggak, berantem aja sama Gavin."
.
"Berantem kenapa?" Mendengar nada bertanyanya yang serius, aku menaruh palet lalu menghadapnya, "Kalau dulu aku gak suka Gavin karena dia nyebar ke temen-temen aku yang lain, kak Nora sakit, tapi aku masih bisa nerima. Sekarang aku enggak suka dia bilang kakaknya Nico enggak punya harapan hidup, lebih lagi penyampaian ke akunya norak. Seakan bukan dituju buat aku. Bercandanya itu bahaya, kelewatan."
.
Kak Nora tersentak cepat lantas kembali menetralkan raut wajah, mencoba berbicara tegas, "Bukan dengan berantem buat ngehadapinnya, Nic. Dia masih anak-anak kadang belum ngerti."
.
"Maksud kak Nora?"
.
"Kamu harusnya bisa jadi lebih tenang, jadi dewasa, bukan main tonjok gitu, jadi berantem gak berguna!"
.
"Mama dan Papa enggak pernah bilang hal itu salah!"
.
"Ini kak Nora ngasih tau yang bener, Nic. Lagipula itu karna mereka enggak tau kamu nonjok temen kamu sendiri," aku terdiam pada dua detik napasku berhenti, terlintas begitu saja di pikiran bahwa selama ini aku melakukan pembelaan yang nyata untuknya, entah sesalah apapun itu di matanya. Bahkan jika seandainya aku adalah kak Nora, aku masih bisa mengucap terima kasih dengan tulus.
.
"Harusnya kakak yang paham, karena tahu alasannya. Papa tahu, kok. Toh semenjak kakak sakit apasih yang mau mereka tatap dari aku? Dengerin aja sebatas itu doang, kan? Mereka pergi lagi tanpa harus tahu gimana keadaan baik buruknya aku hari ini."
.
"Papa kan ke kantor lagi, Nic. Mama juga harus anter lukisan-lukisannya yang akhirnya bisa terjual!" Kakakku yang sedari pagi duduk di kursi roda sengaja agar bisa bergerak bebas dan mengajariku tanpa harus menarik punggungnya agar tegap di atas kasur, sesaat ia berdiri menyangkal seruanku kuat-kuat tergambar jelas dengan gerakan tangannya menepis pelet di pinggir kasur, beberapa cat jadi ikut tumpah, sprei putih itu pun kotor.
.
Tetapi reaksiku justru memperkeruh suasana karena aku sudah kalap juga semenjak nada bicaranya berubah membentak, "Oh? Bahkan kak Nora tahu? Aku gak pernah mau ngasah bakat dari mama ini kalau bukan buat wujudin mimpi kakak. Gak. Gak pernah lebih dari itu."
Perempuan itu kembali terduduk kemudian berlalu begitu saja keluar kamar, pasti ia pergi ke taman belakang rumah sakit. Sempat menutup matanya erat-erat menahan sakit sepersekian detik, namun aku tetap memerhatikan itu yang untuk petama kalinya aku rasa tidak harus kupedulikan dari awal.
.
====
.
Nora's point of view.
.
Aku menekan tombol berhenti di sisi lengan kursi roda, menatap jauh ke arah hijau-hijau tanaman walau sebenarnya tatapan itu buram, kosong, juga menerawang. Sejak awal aku tidak pernah menyangka kehidupanku bersama keluarga dan teman-temanku yang begitu bahagia jika harus diceritakan kini berbalik menyedihkan di hari yag seharusnya tidak pernah aku buat kacau. Aku tidak sedih karena mereka tidak menganggapku berbeda seperti anak yang benar-benar butuh dikasihani lebih, aku juga tidak kehilangan kepedulian dari mereka semua, justru itu berlebihan.
.
Sering aku melihat bibir Nico terkatup tanpa aba-aba padahal detik sebelumnya nada itu bersemangat untuk bercerita, atau ia seolah-olah menghindar agar tidak ada yang melihat raut muka kecewanya, bahkan setiap kali malam tiba kemudian Mama mulai berkutat dengan pekerjaannya sebagai pelukis, Nico menatap perempuan itu berjam-jam lamanya seperti anak yang berharap ibunya kembali.
.
Sesederhana yang aku lihat yang semakin sering aku perhatikan hatiku seolah ikut pengap, semenjak aku mengacaukan pesta ulang tahun ke sebelasnya, selama itu juga aku sebenarnya mencoba memahami keadaan dan mengendalikan diri agar tidak menyalahkan diriku sendiri di tengah kambuhnya penyakit tumor otak ini yang entah kapan bisa sembuh walaupun sudah di operasi berkali-kali.
 .
Tiba-tiba adik laki-lakiku ini duduk di kursi taman, berbicara lebih cepat dari--yang aku kira--hening yang akan menjadi kemudian, "Seharusnya aku enggak nonjok Gavin, kan? Bukannya lebih pantes kalo aku nonjok diri aku sendiri. Gavin bahkan enggak bikin kakak marah, but, I did."
 .
Tawa kecutnya terdngar jelas, tapi, padahal, aku hanya marah pada diriku sendiri. tidak lebih, "Aku cuma gak mau adekku kena masalah serius ataupun sepele cuma buat ngebelain kakaknya yang gak guna ini."
.
Akibat kalimat yang aku balas tidak berhubungan sama sekali dengan miliknya, ia juga membalasku begitu, "Kalaupun itu mimpi kakak, bukan mimpi aku, sejak kakak cerita pernah berharap bisa menang lomba ngelukis, aku udah janji juga dari awal kalo aku bakal wujudin itu."
.
Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata itu tulus terucap bersamaan dengan kepalanya menengok menatapku dari samping kiri. Aku selalu menantikan waktu-waktu aku melupa, namun begitu aku sadar dan semua kembali teringat bahwa umurku sudah tidak lama lagi. Seharusnya itu bukan waktu yang aku nantikan karena begitu mereka yang terlupa kambali, seluruh dunia dan isinya bahkan tidak bisa menahan sesak, semenyesakkan yang aku rasakan sekarang.
.
====
.
Seorang anak lelaki itu berjalan di sepanjang koridor rumah sakit dengan segala kebahagiaannya, berjuta rasa bangganya, senyum  merekahnya, dan dengan piala kaca berukir nama Nicholas Revano sebagai juara melukis di lomba paling bergengsi senasional ditangannya.
.
Saat itu Nico belum sadar mengapa banyak keluarganya datang duduk berjejer di sepanjang koridor yang sama sampai akhirnya, begitu ia masuk ke kamar rawat inap kakaknya, pertama, senyumnya pudar melihat seseorang yang tertidur di atas brankar ditutupi kain putih secara keseluruhan. Kedua, sesaat hatinya kebas dalam satu tebasan mendengar ibunya di sisi ruangan sedang menangis, suara isakkan tertahannya menggema di seluruh sudut ruangan juga berhasil membuat pengap pikiran Nico. Terakhir, piala yang terbuat dari kaca itu terlepas dari genggamannya kemudian pecah berserakan begitu saja di lantai, "Kak Nora?" Tanyanya tidak menyangka.

"KAK NORA!" Teriaknya kali ini kelewat kalap.
.
Ia hampir saja memberontak membuka kain itu paksa lantas mengguncang kakaknya menekankan ini harapannya datang tepat saat ia justru pergi kalau ibunya tidak segera menghampiri kemudian menahannya dengan dekapan hangat. Itu pelukan hangat pertama yang ia dapatkan lagi di umur sebelasnya, namun Nico tidak pernah mau pelukan itu datang diwaktu ia meraung tidak terkendali berteriak nama kakaknya.
.
Anak laki-laki itu seolah-olah menyelam pada air, berteriak kalap, berubah secepat angin lalu padahal hanya berselang sepersekian detik dari ia berusaha rendah hati akan kemenangannya lalu menyadari seseorang telah pergi. Tertahan dengan gelembung air di sekitarnya, walaupun urat lehernya mencuat tanpa ampun, ia berteriak pada dimensi imaji, dan entah mengapa ilusinya melengkapi.

Nico terus meronta-ronta memaki dirinya sendiri yang pernah kelewat batas marah pada kakaknya yang sedang sakit serius, iri pada perhatian orang tua yang Nora dapatkan, sampai ia melihat lukisan potret dirinya di bawah bantal kala itu, yang sesaat dapat menggerakkan kakinya menghampiri Nora di taman belakang rumah sakit.
.
Dengan hati terpelosok jauh kedalamnya, Nico terus didekap lantas mengerat tiap detiknya bersamaan dengan rontaan itu perlahan terhenti, dengan raungan itu yang perlahan memelan, lantas hilang. Nico kehilangan dirinya sendiri, lebih dari ia kehilangan seorang kakak. Mulutnya tidak henti berucap sesuatu yang tidak jelas, yang kemudian semakin terdengar menjelas bahkan ibunya dapat menangkap kalimat itu. 
.
"Kenapa kak Nora ninggalin Nico?" Semakin pelan hingga terdengar seperti lirihan, "Aku bakan berhasil nonjok diri aku sendiri, kak."

-fin.[]

Comments

Post a Comment

Popular Posts